Sudahkah Anda Tersenyum hari ini...????

Selasa, 07 September 2010

^_6

Di bahuku ia menangis tersedu. Dalam isak tangisnya aku ingin mengucapkan sesuatu. Tapi Arrhhhhhh..... aku tak mau kalau dia marah setelah mendengarnya. Aku diam. Ia masih menangis di bahuku. Aku tak berani untuk mengusap bahunya agar ia lebih tenang. Hmm.... aku tak bisa. Karena dia bukan siapa2 aku. Ia sahabatku.... yah.... sahabat baikku. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,...."ucapnya terbata dalam isakan tangisnya. Aku membiarkan dia tetap berada di bahuku. "Apa....."jawabku pelan. "Aku harap kamu tidak marah dan mau jujur kepadaku" tanyanya kembali. Aku melepaskan ia dari bahuku. "Aku tak akan marah dan aku pasti jujur.." jawabku tenang disertai senyuman manis. Ia menghirup nafas. Hyuffs.... "Apakah aku sahabatmu...."tanya ia sambil mengusap air matanya yang menggenang di pipi. Aku memngangguk "Yah... tentu sajah...". Jawabku singkat. "Apakah mungkin kalau aku suka sama kamu...???" tanyanya pelan. Aku diam. "Maksud kamu..?" tanyaku kurang mengerti. Ia memainkan pasir menggunakan ranting pohon yang kecil. Ia menulis namaku di pasir itu. Ia melingkari namaku. Aku hanya melihat ia menulis di pasir itu. Kemudian ia menuliskan namanya di bawah namaku itu. Aku tersenyum. Dan ia melihatku, menatap mataku lekat. Aku menunduk. Aku tak kuasa berhadapan mata dengan dia. "Sekarang lihatlah apa yang aku tulis untuk kita berdua...???" ucapnya sambil tersenyum. Aku tersentak kaget. "Kamu......" tuturku padanya heran. "Kenapa..... aku salah menulis ini?" tanyanya merasa bersalah. Aku menggeleng. "Kamu ga salah.... kenapa kamu menulis itu" tanyaku penasaran. Ia diam sejenak. Kemudian menatapku. "Karena kita adalah sahabat......" jawabnya singkat padat. Aku mengeja tulisan yang ia tulis di pasir itu. . apakah mataku ini yang sudah rabun? gumamku dalam hati. Kamu serius....?" tanyaku khawatir. Ia diam dan mengangguk. "Kenapa...." tanyaku kembali. Ia menatapku lekat... dan kemudian tertawa. Aku heran melihat ia tertawa. "ko kamu ketawa?" tanyaku heran. Ia berhenti tertawa. "Hm....... sebenarnya...???" ia menatap lautan lepas. Matanya yang bening sesekali memberi keteduhan pada hati ini. "Aku tak ingin jadi sahabat kamu...." ia menatapku. Ia melihat ku penuh kelembutan. "Aku....." kataku terputus. Ia melekatkan jarinya pada bibirku. "Jangan katakan apapun....." jarinya masih menempel dibibirku. Aku menatapnya. Melihat ke dalam bola matanya. Ia pun sama."Lalu apa mau kamu...." ucapku melepaskan jarinya. "Aku tak ingin jadi sahabat, karena sahabat hanya membuat aku sakit, karena sahabat hanya membuat aku menangis, karena sahabat aku tak bisa memiliki kamu seutuhnya. Karena aku ingin aku menjadi pendamping hidupmu, kekasih yang selalu ada di dekat kamu..."jelasnya sambil menitikan air mata. Aku menatapnya, melihat kedalaman hatinya. Aku begitu tak mempercayainya. Perasaanku campur aduk. Ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang sama dengannya. Aku mengusap air matanya. "Kamu ingin menjadi kekasihku...?" tanyaku penuh kelembutan. Ia mengangguk. Angin berhembus memberikan kesegaran pada kami berdua. "kenapa kamu ga bilang dari dulu..." tanyaku padanya. Suara deruan ombak seperti alunan simponi indah. "Aku takut kalau aku merusak persahabatan kita...." jawabnya padaku, Aku tersenyum. "Aku pikir juga seperti itu,,,,,,, ucapku sambill tersenyum padanya...." . Angin pantai berhembus syahdu. Menemani cerita aku bersama dengannya.

Hmm.....

Aku menggamit tangannya, dan melekatkan pada dadaku. "Tolong rasakan detakan jantungku.... biarkan detakan ini kamu rasakan juga"Ucapku padanya. Ia menatapku segan. "Jangan paksa aku, please?" jawabnya dengan nada memohon. Aku diam. Tak ada yang bisa kuucap saat itu. Gemuruh suara orang membuatku tak bisa menguasai keadaan. "Aku harus pergi sekarang....?"ucapnya membiaskan perasaan. Kali ini dengan nada sedikit memaksa. "Hyuufffss.........." aku menghirup nafas panjang, mencoba merasakan oksigen yang masuk ke dalam rongga-rongga jantungku. "Apa keputusanmu sudah bulat Cin..... untuk meningalkan aku. Meninggalkan semua kenangan tentang kita disini. Aku mohon sama kamu, tetaplah disini, bersama aku dan orang-orang yang menyayangi kamu?" pintaku memelas. Aku menatapnya lekat. Menatap ke dalam hatinya yang paling dalam. Ia menunduk. "Cin, jangan siksa diri kamu dengan keadaan seperti ini, kita perbaiki semua kesalahan yang ada dalam hubunga kita." Jelasku meyakinkan. "Aku mohon sama kamu...... " pintaku sambil berlutut. Ia masih diam. Dalam matanya menggenang air yang sangat bening. "Lepasin aku Ardan.....aku harus pergi sekarang......?" ia memintaku melepaskan tangannya. "Aku ga mau melepaskan tangan kamu, sebelum kamu berjanji sama aku...?"jawabku padanya. "Sudahlah, pesawat ku sudah mau berangkat, nanti aku telambat.....?"Ia mencoba melepaskan genggaman tanganku. "Cinta aku mohon sama kamu jangan bohongi perasaan kamu dengan cara seperti ini.... aku cinta kamu, cara apa yang bisa membuat kamu percaya sama kamu, bahwa aku benar-benar cinta kamu kamu....?"desakku padanya. "Mungkin ini bukan keputusan yang terbaik untuk kita, tapi aku harus pergi Ardan... Aku ga mau mengecewakan keluarga aku. Keluarga yang sudah membesarkan aku.... aku harus mewujudkan harapan keluarga aku." Jelasnya sambil melepaskan tangnku pelan. Aku diam. Kata-kata itu membuat aku tak bisa berkata apa-apa. "Tapi,,,, kenapa harus ke luar negri Cin, aku tahu tempat kuliah terbaik di Indonesia, kalau kamu mau aku bisa antar kamu...."Jelasku meyakinkan dan bersemangat. Ia diam dan tersenyum. "Ardan, cukup.... aku ga mau membuat kamu sedih seperti ini. Tolong jangan siksa perasaan kamu dengan kesedihan mu itu? Karena aku tak sanggup melihat kamu menangis." Ucapnya melemaskan tulang-tulangku. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita Cin..." jawabku penuh harap. "Dengar, semuanya akan baik-baik saja..... aku yakin kamu disini pasti mendapatkn yang lebih baik dari aku, lebih menghargai perasaan kamu, lebih peduli sama kau, dan lebih mengerti keadaan kamu. Aku yakin kamu pasti bisa menjalani hari-hari tanpa aku. Sekarang pejamkan mata kamu, dan lupakan aku,,,,,, ?" jawabnya menghancurkan perasaanklu. "Baiklah kalau itu mau kamu, tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, aku tak kan berpaling dengan siapapun selain kamu, aku akan menunggumu di sini. Di tempat dulu kita bertemu. " Ia tersenyum miris. Bulir air mata menetes jatuh ke tanganku. Begitu bening seperti hatinya. "Air mata ini adalah bukti bahwa kita saling mencintai.......?" ucapku sambil mengusapnya pelan. "Bolehkah aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya...?" pintaku padanya. Ia mengangguk dan menangis. Aku memeluknya erat. Mendekapnya penuh kehangatan. Dalam bahuku ia menangis tersedu. Mencurahkan kesedihan yang ada dalam hatinya. "Menangislah dipundakku cinta.....aku ingin di pertemuan kita yang terakhr ini, aku bisa memberikanmu kedamaian. " Air matanya membasahi kaosku. Ia semakin tak bisa menahan isak tangisnya, aku mengusap pundaknya agar ia tenang. "Baik Ardan, sekarang aku harus pergi, pesawat ku sudah menunggu..." ia melepaskan dekapanku. Dan aku membiarkannya. Aku mengangguk. "Pergilah..... aku mendoakan mu yang terbaik?" jawabku tersenyum sedih. "Maafkan aku,,,,,,,,,,,?" tuturnya terbata. "Aku cinta kamu Ardan, aku sangat menyayangi kamu, aku akan kembali untukmu...?" ucapnya sambil memelukku kembali. Aku diam. "Sudahlah... sekarang aku sudah tak sedih lagi, karena aku yakin, kamu bisa menjaga hati dan perasaan kamu untuk aku.?" Jawabku di tengah dekapanku.

Ia pun pergi,,,,,, dalam kehampaan hatiku, Hatiku terkoyak...... tak ada rasa untuk ini..... "Cinta jangan Kau pergi....?" ucapku lirih.

Adik, senyummu begitu manis.

Nafas itu terkadang tersengal, kembang kempis seperti nafasnya orang yang sudah ujur. Dalam balutan baju piyama yang ku belikan, ia tertidur pulas menapaki setiap mimpi-mimpi yang terangkai. Aku tak tega melihat kondisinya itu, kekurangan menjadikan ia tak bisa bermain seperti anak yang lain. Setiap kali ia mencoba bermain dengan anak-anak yang lain, ia selalu merasa lelah, dan kulitnya nampak biru. Nafasnya tak beraturan. Dan terkadang pingsan. Yah begitulah kondisinya sangat lemah sekali. Penyakit yang ia derita membatasi aktivitasnya. Dan, ia pun sering sakit-sakitan, dan harus rajin chek-up ke dokter spesialis jantung. Hmmm......... nasibnya tak seberuntung teman-temannya.

-------------------

Dua tahun berlalu,usianya kini genap 10 tahun. Dan ia sudah sekolah di bangku SD kelas 4. Ia begitu bersemangat sekolah. Pagi sekali ia sudah bangun. Aku senang melihat itu semua, tanpa harus aku bangunkan ia sudah tahu bahwa hari itu adalah jadwal ia sekolah. Jarak antara sekolah dan rumah tak begitu jauh. Namun aku khawatir, apabila ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, kondisinya semakin parah. Akhirnya setiap pagi ia selalu diantar Bapak menggunakan angkotnya. Ia begitu senang sekali. setiap pagi, ia selalu mengajak teman-temannya untuk ikut bersamanya. Dan bapakpun tak keberatan dengan hal itu.

Di sekolah ia terbilang anak yang pintar, hal itu bisa dilihat dari nilai-nilainya sehari-hari. dan otaknya pun mudah sekali menangkap materi yang disampaikan di kelas. Namun, dari pelajaran Olah raga ia tak bisa mengikutinya secara keseluruhan, mengingat kondisi fisik dan keadaannya.

-------------------

Tak banyak yang aku lalkukan, ia kini terbaring sakit. Badannya panas. Dan ia tak mau makan. Badannya semakin kurus. Aku tak tega melihatnya terbaring lemah. Ia pun tak banyak berkata apa-apa. Hanya diam merasakan penyakit itu menggerogoti badannya. Mukanya pucat, dan kulit-kulitnya kering. Dadaku berteriak geram...... mencoba meluapkan kekesalan yang sudah lama ku pendam. Ia masih diam, dalam sakitnya ia tak pernah mengeluh. Aku sangat tak tega melihatnya. Suaranya pun kini tak seperti dulu lagi, Kini terbata dan kadang tak jelas. Air mata ini tak kuasa ditahan lagi, idan menetes jatuh di depannya. Ia tersenyum, dalam senyumnya ada rasa getir pahit yang kurasakan. "Ya Allah.... begitu sabar anak ini, berilah kesembuhan pada dirinya Ya Allah.........?" doaku dalam hati. Dengan tangan halusnya ia mengusap air mataku. Aku semakin sedih. Hatiku seperti hancur saat itu.

-------------------

Sudah sebulan ia sakit, namun belum ada perkembangan dari sakitnya. aku hanya pasrah dengan keadaan ini. Setiap ku ajak ke Rumah sakit ia selalu menolak. Alasannya sederhana dan sangat menyayat hati. "Ga usah A, Neng ga bakal sakit lagi ko, nanti juga sembuh. Coba aa liat tangan neng, kecil kan, kalau neng di infus masukin jarumnya dimana?" jawabnya ketika saat itu. Aku menunduk, Kali ini bukan mataku saja yang mengeluarkan air mata, tapi hati ini juga menangis, merasakan rasa sakit yang ia derita. Nafasku terasa sesak. Aku tak kuasa berbuat apa-apa lagi. Suatu pagi kulihat badannya menggigil. Suhu badannya naik. Dan aku putuskan besoknya ku bawa ke Rumah Sakit, meski ia menolaknya. Badannya sekarang semakin kurus. Dan lagi-lagi aku tak tega melihatnya. Ku panggil kakaku, untuk menemaninya, jujur aku tak bisa menahan sakit dalam dada ini. Kini ia sedang makan bersama kakaku. Namun hanya 3 suap saja makanan itu masuk ke dalam perutnya. Aku sedih melihatnya.

------------------

Pagi berlalu, kini sang malam kian merambah. Adikku masih terbaring lemah. Keringat dingin keluar dari pori-pori badannya. Aku sedikit lega, karena baru kali ini ia mengeluarkan keringat. Aku pikir sebentar lagi ia sembuh. Alhamdulillah Ya Allah....... Akhirnya sembuh juga. Adikku yang ditemani ibuku kini sedang mengobrol. Adikku kini sedikit terhibur oleh canda ibu dan nenekku. Kini senyumnya nampak mengambang di bibir mungilnya. saat itu aku senang sekali, belum pernah aku melihat senyum yang semanis itu.

Malam semakin larut, inilah saat yang sangat membuat aku lemah tak berdaya. Dini hari pukul 3 pagi, adikku terbangun dari tidurnya, ia bermimpi buruk dan menceritakan mimpinya itu kepada ibuku. "Ibu, bolehkan neng memeluk ibu?" pinta adik pada ibu yang sedang manatapnya. Ibu tersenyum. "Boleh sekali neng, sini ibu peluk?" jawab ibu lembut. "Tapi badan neng bau bu, ibu ga apa-apa?" tanyanya kembali. Ibu tersenyum kembali, "Eneng anak ibu, mau bau apa enggak ibu ga peduli?" jawab ibu pada adik. Kemudian adikku memeluk ibu. Dan ibu pun mendekapnya penuh kasih sayang. Dalam pelukan ibu, adik merasakan kehangatan. Selang beberapa menit adiikku melepaskan pelukannya. "Ibu kenapa kaki neng rasanya sakit sekali yah Bu.....?" tanya adik merasakan kesakitan. Ibu hanya menatap adik sedih. Air mata ibu jatuh membasahi kening adikku. "Ibu tolong bantu eneng bu, kaki eneng sakit sekai?" pintanya kembali pada ibu. " Neng, kalau ibu bisa, ibu sudah bantu eneng?" ucap ibu pada adikku disertai tangisan. Nafas adikku semakin tak karuan. Bibirnya kering. Mukanya pucat pasi. "Ibu bantu eneng membaca ayat kursi bu....?"pinta adik pada ibu. "Neng, baca lafad Allah aja yu....ayat kursi kepanjangan?" jelas ibu pada adik. Adik mengangguk. Ibu menuntunnya melafalkan lafadz Allah. Adikpun mengikutinya. LAfadz Allah masih terdengar di mulutnya meskipun samar. Hingga lafadz Allah pun kini tak terdengar lagi di mulutnya. Kini matanya tertutup. Ibu diam. Melihat adik yang berhenti melafalkan lafadz Allah. Ibu membangunkan adik berkali-kali, namun adik tetap diam dan bisu. Ibu menjerit...... menangis sejadi-jadinya. Akupun terbangun mendengar suara ibu. Dalam pelukan Ibu, adik sudah tak bernafas lagi. Air mata ku jatuh tak terasa. Badanku lemah semuanya sia-sia. Harapan dan keinginan itu seketika runtuh tak bersisa. Tulang-tulang ku seperti remuk "Adik.........senyummu begitu manis?" ucapku parau.

Semanis Gula

Di bawah terik matahari ini aku berjalan perlahan. Sambil memegangi perutku yang lapar. Di bahuku terpasang keranjang dari anyaman bambu. Sejak kecil aku tak mempunyai ibu dan bapak. Aku di besarkan oleh keluarga pemulung di pinggiran kota yang sangat kumuh. Pa Sariman. Ia menemukanku di samping tempat sampah ketika aku masih bayi. Tak banyak aku menanyakan hal itu pada Pa sariman. Karena berkatnya aku masih bisa hidup meskipun dengan pas-pasan. Pekerjaanku adalah sebagai pemulung. Mengambil apa saja yang bisa dijual. terkadang aku merasa sedih, ketika aku melihat teman sebayaku bersama ibu bapaknya, hidup mewah serta berkecukupan. Tapi aku berpikir, tak ada gunanya bersedih, karena itu tak kan merubah kehidupan ku sekarang. Aku sudah bisa menebak alasan ibu dan bapakku membuang ku. Perputaran zaman yang begitu keras. Terlepas dari itu semua, aku mempunyai cita-cita yang sangat mustahil. Tanpa bekal pendidikan dan biaya. Kadang aku tertawa sendiri. Merasa malu pada cita-citaku yang begitu tinggi. Aku menatap kosong. Di atas sana tak ada harapan yang bisa aku ambil. Aku melupakan cita-citaku, dan kembali menyusuri jalan mencari barang-barang yang masih bisa di jual. Perutku mulai keroncongan, maklum dari pagi aku belum menemukan nasi untuk aku makan. Aku berhenti di depan Warung tempat biasa aku membeli makan. Aku menaruh keranjangku. "Hmm......... masih kosong" gumamku sendirian. Keringatku menetes di sela-sela pelipis dan jatuh perlahan. Aku melihat warung tersebut. Di dalam sana ada Ayu anak pemilik warung tengah sibuk melayani pembeli. "Manis juga senyumnya....?" decakku kagum. Umurku tak begitu jauh dengan dia, hanya terpaut 2 tahun. Tentunya ia lebih muda dari aku. Aku 19 tahun dan ia 17 tahun. Jalanan begitu ramai. Orang-orang berlalu lalang di depanku, suara bising kendaraan yang sedang melintaspun tak kalah bisingnya. Begitu memekakan telinga. kembali ku lihat Ayu, ia sudah tak melayani pembeli lagi. Ia tengah duduk di depan melihat ke arahku. Aku menunduk. Aku malu sekali padanya. Aku segera bergegas. Memakai keranjangku kembali. Ia pun berdiri ketika aku hendak melangkah pergi. Ia segera masuk ke dalam sebentar, dan keluar membawa bungkusan hitam. Ia menghampiriku. "Ini buat kamu......." ucapnya sambil menyodorkan bungkusan itu pada aku. Aku tak berani menatapnya. Aku hanya tertunduk malu. "Ini apa yu....?" tanyaku padanya. Ayu tersenyum manis. "Ini makanan untuk kamu, aku tahu kamu pasti belum makan?" jawabnya baik padaku. "Tapi, kenapa kamu memberikanku makanan ini, padahal aku tak memintanya?" tanyaku kembali. "Sudah, ambil saja, ini adalah makanan buatan aku sendiri, sengaja aku buatkan untuk kamu?" jawabnya kembali membius aku. Aku masih tertunduk malu, "Aku ga bisa terimanya yu....?" tolak aku baik-baik. Dahinya mengkerut. "Kenapa,,,,,, apa kamu tak suka dengan mkanan ini?" tanya Ayu heran. "Aku tak mau menerimanya yu, aku tahu aku seorang pemulung tapi aku tak ingin makan dari belas kasihan orang lain?" jawabku menjelaskan. Ayu diam. Dan masih memegang bungkusan itu. "Makasih yah udah baik sama aku,,,,?" ucapku padanya yang masih diam. Aku pergi. selang beberapa langkah ia memanggil namaku. Spontan aku pun berhenti. Ia menghampiriku kembali. "Apa kamu tak mau menerima makanan ini, makanan yang sengaja aku buatkan untuk kamu?" tanya Ayu memelas. "Aku tak bermaksud itu yu, tapi aku malu sama diri aku sendiri, menerimanya berarti merendahkan derajat aku, meski aku pemulung tapi aku punya harga diri?" jelasku padanya. Ia tertawa mendengar ku tadi. Aku heran melihatnya. "Loh ko ketawa....?" tanyaku heran melihatnya. "Yah lucu ajah..... sama kamu, kamu kan ga ngemis kenapa harus malu, lagian aku ngasih makanan sama kamu bukan karena kasian sama kamu, karena aku pengen kamu bisa mencicipi makanan ku ini?" jelasnya masih tertawa. "Aku bangga sma kamu,aku bukan melihat kamu sebagai pemulung, tapi aku melihat kamu sebagai orang terdekat yang aku kenal?" . Aku tersenyum malu. Aku menggaruk kepalaku untuk menghilangkan rasa malu ku tadi. "Oh gtuh yah.... ya udah maafin aku yah..?" jawabku malu-malu. "Ya sudah gimana kalau kita makan berdua ajah, biar aku temenin deh.....?"saran Ayu kepadaku. Aku hanya tersenyum. "mmmm...... boleh kalau itu mau kamu..?". Aku memilih untuk makan di bawah pohon mahoni yang ada di dekat taman kota. "Yu.... apa kmu ga malu makan sama aku?" tanyaku pelan. "Kenapa malu.?" jawabnya singkat dan menengok aku sebentar. "Aku kan pemulung, sementara kamu anak yang punya warung besar itu, kamu juga anak kuliahan, terus nanti kalau teman-teman kamu tahu, kamu sama aku gimana?" tanyaku sedikit ragu-ragu. Ia diam. dan menghirup nafas panjang " Hmm........... aku ga masalah ko, bagiku temenan itu sama siapa sajah, yang penting teman itu juga baik sama kita. Mau pemulung ato apa aku ga masalah?" jawabnya sambil melihat mukaku. "Kamu ko liatin aku seperti itu sih yu, apa ada yang aneh yah sama muka aku?" tanyaku malu. Ayu menahan tawanya. "Tuh kan, ko malah mau ketawa sih?" aku kaya badut yah.......?" ayu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku tadi. dalam tawanya itu, aku merasa senang sekali. Baru kali ini aku bisa membuat perempuan tertawa. di depan aku. " Kamu manis juga yu.........?" ujarku di tengah tawanya. Seketika ayu berhenti tertawa. Dan melihat aku. "Apa kata kamu...?" tanya ayu memastikan. "Kamu ga denger yah........?" tanyaku padanya. "mm......... samar-samar sih, habisnya aku asik ketawa?" jawabnya sambil memandangi aku. "Oh.... kamu manis juga yu,,,,he..he... maaf yah kalau kata-kataku ga sopan sama kamu?" ia diam. Bibirnya tersenyum. Mukanya merah mendengar ucapanku tadi. "Loh aku salah yah yu,,,,,,,,,?" tanyaku takut marah. Ayu diam. "Aduh... maafin aku yah?" sambil ku pegang tangannya. Ia menatapku. Aku melepaskan tangannya. "Maaf yu aku ga sengaja pegang tangan kamu....?" ucapku merasa bersalah. "Baru kali ini ada laki-laki yang bilang aku manis......... berarti kaya gula donk......?" jawabnya disertai canda....... Aku tertawa. "Ha,,,ha,,, iyah kamu bener juga, kalau kamu gula berarti aku semutnya?" ucapku spontan. Upss..... lagi-lagi aku keceplosan. Ayu tersipu malu. "O yah Yu, aku boleh bilang sesuatu ga sama kamu?" pintaku padanya. Ayu menggangguk ."Tapi kamu ga akan marah kan?" tanyaku memastikan. Ayu kembali mengangguk. "iyah,,, mau bilang apa sih?" tanyanya penasaran. "Mungkin ga aku sebagai pemulung, mendapatkan perempuan cantik, sopan, baik hati, anak kuliahan lagi?" tanyaku padanya. Ayu tersenyum mendengarnya. "Ga ada yang ga mungkin di dunia ini, kala Tuhan YME berkehendak semuanya pasti terjadi?" jawabnya bijak. "Apa mungkin perempuan yang ada di depan aku ini, menjadi kekasih aku?" tanyaku hati-hati dan sedikit terbata. Angin berhembus lembut. "Mungkin aja kalau kamu mau menjadi kekasih untuknya?" jawabnya membuatku seperti di awang-awang. "Jadi kamu mau menjadi kekasih aku yu.....?" tanyaku berbunga-bunga. Ayu mengangguk. "kamu serius yu.....?" tanyaku kembali. " Iyah..... aku serius?" jawabnya disertai senyuman manis. Tapi aku berpikir kembali apa pantas aku bersamanya. "Kamu kenapa?" tanya ayu padaku. Aku menapnya lekat. "Aku seorang pemulung yu......?" jawabku pesimis, "aku ga pantas buat kamu......?" ucapku melanjutkan. Ayu diam. "Aku ga peduli, kamu pemulung ato apa, yang penting kita sama suka?" jawabnya dengan nada emosi. "Hm.......... tapi aku ga bisa yu...... perbedaan kita begitu jauh, aku tak mau membuat keluarga dan teman-teman kamu malu." jelas aku pada ayu."Tapi aku menerima kamu apa adanya......" jawabnya lembut. "Aku harus pergi yu sekarang. Maafkan aku yah...... teima kasih sudah buatin aku makanan yang enak ini, aku ga bakal lupain saat-saat seperti ini?"pamitku padanya. Ayu diam. D i sudut matanya menggenang air mata. Aku tak tega melihatnya. Aku bergegas pergi. Meninggalkan Ayu yang masih duduk di bawah pohon. Air mataku menetes tak terasa. Menyesali semua keputusanku ini. Namun aku pikir ini adalah keputusan yang benar. Aku tak mau dia menanggung malu hidup bersama aku. Tuhan inilah jalan hidupku, hidup dengan kemiskinan. Bahkan untuk mencintai pun begitu sulit. Aku berharap esok hari aku masih bisa melihat senyumnya yang manis, semanis gula itu, meski ku tak bisa memiliki.